Program iuran wajib Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang dijalankan pemerintah dikhawatirkan menjadi lahan basah baru untuk praktik menggangsir uang negara. Koordinator ICW Agus Sunaryanto mengatakan, tidak ada jaminan bagi warga untuk bisa membeli rumah dari uang iuran yang dibayarkan melalui pemotongan gaji setiap bulan tersebut.
“Masyarakat sendiri sudah menilai, kalaupun mereka dipotong dari gajinya tiga persen, itu untuk waktu 10 tahun 20 tahun itu belum menghasilkan apa-apa,” ujar Agus dalam keterangannya, Senin (3/6/2024).
Sebab, besaran potongan gaji untuk iuran Tapera selama bertahun-tahun belum tentu cukup untuk membeli rumah. Apalagi harga-harga akan terus mengalami perubahan, bahkan meningkat karena adanya inflasi.
“Masyarakat kan sekarang sudah cerdas, beberapa bahkan sudah menghitung walaupun 100 tahun belum tentu bisa membeli perumahan karena kan ada inflasi,” kata Agus.
“Kemudian belum tentu juga umur kita sampai di situ, dan anak kita yang mewarisi juga jangan-jangan dipersulit nanti untuk mengurus prosesnya,” sambung dia.
Selain itu, lanjut Agus, uang iuran yang ditarik dari gaji bulanan setiap pekerja juga berpotensi diselewengkan dalam proses pengelolaannya. Sebab, uang yang dibayarkan warga akan tersimpan dalam jangka waktu yang panjang dan sulit untuk dipantau secara berkala.
Dia kemudian mencontohkan kasus mega korupsi asuransi Jiwasraya hingga Asabri, yang akhirnya terungkap setelah para pesertanya bertahun-tahun menyetorkan iuran. Dalam kasus-kasus tersebut, negara tak bisa menanggung dan menalangi kerugian yang dialami para warga.
“Kalau melihat tren-tren ya kasus asuransi banyak yang bermasalah, kayak Jiwasraya Asabri dan lain-lain pada akhirnya pemerintah juga tidak bisa menalangi. Ketika itu dikorupsi pada akhirnya masyarakat lagi yang menanggung,” kata Agus.